Terjemahan Dari Qs Al Baqarah Ayat 148 Adalah
يَسۡـــَٔلُوۡنَكَ عَنِ الۡخَمۡرِ وَالۡمَيۡسِرِؕ قُلۡ فِيۡهِمَآ اِثۡمٌ کَبِيۡرٌ وَّمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَاِثۡمُهُمَآ اَکۡبَرُ مِنۡ نَّفۡعِهِمَا ؕ وَيَسۡـــَٔلُوۡنَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلِ الۡعَفۡوَؕ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَـكُمُ الۡاٰيٰتِ لَعَلَّکُمۡ تَتَفَكَّرُوۡنَۙ
Yas'aluunaka 'anilkhamri walmaisiri qul fiihimaaa ismun kabiirunw wa manaafi'u linnaasi wa ismuhumaa akbaru min naf'ihimaa; wa yas'aluunaka maaza yunfiquuna qulil-'afw; kazaalika yubaiyinul laahu lakumul-aayaati la'allakum tatafakkaruun
Mereka menanyakan kepadamu (Muhammad) tentang khamar dan judi. Katakanlah, "Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia. Tetapi dosanya lebih besar daripada manfaatnya." Dan mereka menanyakan kepadamu (tentang) apa yang (harus) mereka infakkan. Katakanlah, "Kelebihan (dari apa yang diperlukan)." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu memikirkan,
Mereka menanyakan kepadamu, wahai Nabi, tentang khamar, yaitu semua minuman yang memabukkan, dan berjudi. Pertanyaan itu muncul antara lain karena di antara rampasan perang yang diperoleh pasukan pimpinan abdulla h bin Jahsy seperti disinggung pada ayat 217 terdapat minuman keras. Katakanlah, "Pada keduanya terdapat dosa, yakni mudarat yang besar. Keduanya menimbulkan permusuhan dan menyebabkan kaum muslim melupakan Allah dan enggan menunaikan salat. Dan keduanya juga mengandung beberapa manfaat bagi manusia, seperti keuntungan dari perdagangan khamar, kehangatan badan bagi peminumnya, memperoleh harta tanpa susah payah bagi pemenang dalam perjudian, dan beberapa manfaat yang diperoleh fakir miskin dari perjudian pada zaman Jahiliah. Tetapi dosanya, yakni mudarat yang ditimbulkan oleh khamar dan judi, lebih besar daripada manfaatnya. Khamar diharamkan dalam Islam secara berangsur. Ayat ini menyatakan bahwa minum khamar dan berjudi adalah dosa dengan penjelasan bahwa pada keduanya terdapat manfaat, tetapi mudaratnya lebih besar daripada manfaat itu. Surah an-Nisa '/4: 43 dengan tegas melarang minum khamar, tetapi terbatas pada waktu menjelang salat. Surah al-Ma 'idah/5: 90 dengan tegas mengharamkan khamar, berjudi, berkorban untuk berhala dan mengundi nasib dan menyatakan bahwa semuanya adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan yang harus dijauhi selamanya oleh orang-orang beriman. Bagian akhir ayat ini menjelaskan ketentuan menafkahkan harta di jalan Allah. Dan mereka menanyakan kepadamu tentang apa yang harus mereka infakkan di jalan Allah. Katakanlah," Kelebihan dari apa yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan diri dan kebutuhan keluarga. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu memikirkan.
Ayat ini menjawab pertanyaan para sahabat yang diajukan kepada Rasulullah saw. Jawaban-jawaban itu bukan saja mengenai hukum khamar dan judi, tetapi sekaligus menjawab pertanyaan tentang apa yang akan dinafkahkan; dan juga mengenai persoalan anak-anak yatim. Larangan minum khamar, diturunkan secara berangsur-angsur. Sebab minum khamar itu bagi orang Arab sudah menjadi adat kebiasaan yang mendarah daging sejak zaman jahiliah. Kalau dilarang sekaligus, dikhawatirkan akan sangat memberatkan bagi mereka. Mula-mula dikatakan bahwa dosanya besar, kemudian dikatakan orang mabuk tidak boleh mengerjakan salat; dan terakhir dikatakan bahwa minum khamar itu adalah keji dan termasuk perbuatan setan. Kemudian mereka dicela dengan mengatakan, "Apakah kamu belum mau juga berhenti meminumnya?" Tegasnya: minum khamar dan main judi itu dilarang, dan haram hukumnya. Yang dimaksud dengan khamar menurut pendapat jumhur ulama ialah semua minuman yang memabukkan, walaupun terbuat dari bahan apa saja. Jadi minum apa saja yang memabukkan, hukumnya haram, baik sedikit ataupun banyak. Semua ahli kesehatan sependapat, baik dahulu maupun sekarang, bahwa minum khamar itu banyak sekali bahayanya. Allah tidak akan melarang sesuatu, kalau tidak berbahaya bagi manusia. Sudah tidak diragukan bahwa minum khamar itu berbahaya bagi kesehatan, akal pikiran dan urat syaraf, serta harta benda dan keluarga. Minum khamar sama dengan menghisap candu, narkotika, dan obat-obatan terlarang (narkoba) yang menimbulkan ketagihan. Seseorang yang telah ketagihan minum khamar, baginya tidak ada nilainya harta benda, berapa saja harga khamar itu akan dibelinya. Dengan demikian, khamar membahayakan dalam pergaulan masyarakat, menimbulkan permusuhan, perkelahian, dan sebagainya. Rumah tangga akan kacau, tetangga tidak aman dan masyarakat akan rusak, karena minum khamar. Penyakit kecanduan khamar erat sekali hubungannya dengan segala perbuatan maksiat dan kejahatan. Seorang yang sudah mabuk, tidak akan malu-malu berzina di tempat-tempat maksiat seperti night club, bar dan lain-lain. Kedua perbuatan mesum itu biasa disatukan tempatnya. Bahaya minum khamar akan lebih besar lagi kalau sudah bercampur dengan zina. Bukan saja menghambur-hamburkan harta dan berfoya-foya memperturutkan hawa nafsu, tapi segala macam penyakit kelamin akan merebak, lahirlah anak-anak tanpa bapak yang sah, serta pembunuhan bayi-bayi yang tidak berdosa. Pekerjaan seperti ini merupakan perbuatan yang terkutuk yang tidak berperikemanusiaan, perbuatan keji yang lebih keji dari perbuatan hewan. Sebagaimana halnya minum khamar, Allah juga melarang main judi sebab bahayanya lebih besar daripada manfaatnya. Judi ialah semua permainan yang menggunakan pertaruhan yang kalah harus membayar kepada yang menang. Taruhan itu berupa apa saja: uang, barang-barang, dan lain-lain. Bahaya main judi tidak kurang dari bahaya minum khamar. Main judi cepat sekali menimbulkan permusuhan dan kemarahan, dan tidak jarang menimbulkan pembunuhan. Bahaya itu sudah terbukti sejak dahulu sampai sekarang. Bilamana di suatu tempat telah berjangkit perjudian, maka di tempat itu selalu terjadi perselisihan, pemusuhan dan pembunuhan. Pekerjaan nekad, kerap kali terjadi pada pemain-pemain judi, seperti bunuh diri, merampok, dan lain-lain, lebih-lebih bila ia mengalami kekalahan. Judi adalah perbuatan berbahaya, akibat berjudi seseorang yang baik dapat menjadi jahat, malas mengerjakan ibadah, dan jenuh hatinya dari mengingat Allah. Dia jadi pemalas, pemarah, matanya merah, dan badannya lemas. Dengan sendirinya akhlaknya menjadi rusak, tidak mau bekerja untuk mencari rezeki dengan jalan yang baik, dan selalu mengharap kalau-kalau mendapat kemenangan. Dalam sejarah perjudian, tidak ada orang yang kaya karena berjudi. Malahan sebaliknya yang terjadi, banyak orang kaya tiba-tiba jatuh miskin dan melarat karena berjudi. Banyak pula rumah tangga yang bahagia, tiba-tiba hancur berantakan karena judi. Adapun manfaat minum khamar sedikit sekali, boleh dikatakan tidak ada artinya dibandingkan dengan bahayanya. Misalnya, khamar, mungkin dapat menjadi obat, dapat dijadikan komoditas perdagangan yang mendatangkan keuntungan, dan dapat menimbulkan semangat bagi prajurit-prajurit yang akan pergi berperang, dan lain-lain. Tapi semua itu bukanlah manfaat yang berarti. Tentang bahaya minum khamar dan main judi, dan apa yang akan diderita oleh peminum khamar dan pemain judi nantinya, selain dijelaskan oleh Allah dalam Al-Qur'an juga banyak diterangkan dalam hadis-hadis Nabi Muhammad saw. Sesudah para sahabat menanyakan kedua masalah yang sangat besar bahayanya itu, yaitu minum khamar dan main judi, maka mereka menanyakan masalah apa yang akan dinafkahkan. Dalam satu riwayat, dari Ibnu Abi hatim dari Ibnu 'Abbas beberapa orang sahabat Rasulullah saw datang bertanya kepada beliau, "Kami belum tahu, apakah itu nafkah fi sabilillah yang diperintahkan kepada kami untuk mengeluarkannya dari harta kami?" Ayat ini adalah jawabannya. Sengaja Allah swt menggabungkan masalah nafkah dengan masalah khamar dan judi dalam satu ayat, untuk menjadi cermin perbandingan bagi manusia, bahwa di samping ada orang yang menghambur-hamburkan hartanya untuk berbuat maksiat seperti minum khamar dan berjudi, ada pula orang yang menggunakan hartanya untuk dinafkahkan di jalan Allah. Orang-orang yang menghamburkan hartanya di jalan maksiat itu akan mendapat kehancuran dan malapetaka, sebaliknya orang-orang yang mempergunakan hartanya di jalan Allah akan memperoleh kebahagiaan dan keberuntungan. Yang dimaksud dengan nafkah dalam ayat ini ialah memberi sedekah, amal jariah, derma, sumbangan, dan lain-lain yang hukumnya sunah, sedang zakat hukumnya wajib. Hal ini sudah diterangkan dalam ayat-ayat yang lain. Arti al-'afwa di sini ialah "yang lebih dari keperluan". Jadi yang akan dinafkahkan adalah harta yang sudah berlebih dari keperluan pokok sehari-hari. Allah menganjurkan agar seseorang berusaha mencari rezeki untuk keperluan anak dan istri serta orang-orang yang di bawah tanggungannya. Tapi kalau rezeki yang diberikan Allah sudah lebih dari kebutuhan tersebut, Allah menganjurkan agar ia berinfak, yaitu memberikan sebagian dari kelebihan harta itu untuk keperluan fi sabilillah. Umpamanya untuk membangun rumah-rumah ibadah, seperti masjid, musala atau surau, atau untuk membangun rumah-rumah yatim atau rumah-rumah pendidikan seperti madrasah, asrama-asrama pelajar, fakir miskin, juga kepada pelajar dan mahasiswa dalam bentuk beasiswa, dan lain-lain. Amal-amal sosial seperti tersebut di atas, dapat dibiayai dengan nafkah yang diberikan kaum Muslimin. Memberikan nafkah dalam hal ini penting sekali, sebab itu merupakan urat nadi pembangunan dalam Islam dan jadi jembatan yang menghubungkan antara yang kaya dengan yang miskin. Begitulah cara Allah memberikan petunjuk dengan ayat-ayat-Nya untuk kebahagiaan umat manusia. Ditunjukkan-Nya jalan mana yang dapat mendatangkan manfaat dan kebaikan dan jalan yang akan menjerumuskan ke dalam bahaya dan kerusakan. Dalam hal ini, manusia harus memikirkannya. Berpikir bukan untuk dunia saja tetapi juga memikirkan akhirat dalam setiap usaha dan pekerjaannya. Kaum Muslimin menjadi jaya dan mulia bila mau mempergunakan akalnya untuk memikirkan keselamatan hidupnya dan masyarakatnya di dunia dan di akhirat. Di dunia, mereka menjadi orang yang terhormat dan disegani, karena mereka adalah orang-orang yang mampu, berwibawa, dan memegang tampuk kekuasaan. Di akhirat, dia menjadi orang yang beruntung karena amal kebajikannya yang banyak.
sumber: kemenag.go.id
Surah Al-Baqarah (bahasa Arab: سورة البقرة, translit. sūrah al-baqarah, har. 'Sapi') adalah surah ke-2 dalam Al-Qur'an, serta merupakan surah terpanjang.[1] Surah ini terdiri dari 286 ayat, 6.221 kata, dan 25.500 huruf dan tergolong surah Madaniyah. Surah ini diawali dengan huruf muqaṭṭa'āt A-L-M,[2][3] yang harus dibaca satu-satu (alif, lām, mīm).[4]
Surah ini juga dinamai Fustatul Qur'an (Puncak Al-Qur'an) karena memuat beberapa hukum yang tidak disebutkan dalam surah yang lain. Sebagai contoh, kewajiban bagi umat Muslim untuk puasa di bulan Ramadan;[5] larangan riba; dan ayat terkenal, Ayat Kursi, Surah al-Baqarah 256, dan tiga ayat terakhir. Ayat ini memiliki banyak sekali variasi topik seperti hukum-hukum, serta kisah Nabi Adam, Ibrahim (Abraham) dan Mūsa (Moses). Tema lainnya yang juga diangkat adalah ajakan bagi kaum Musyrikin dan Yahudi Madinah untuk masuk Islam, serta mengingatkan mereka serta orang munafik tentang nasib orang-orang terdahulu yang telah lalai.[6]
Sebagai surah Madaniyah, surah ini diyakini diwahyukan di Madinah dalam waktu yang cukup panjang setelah Hijrah, kecuali ayat riba yang diyakini diturunkan selama Haji Wadak, haji terakhir Nabi Muhammad.[7][8] Secara umum, ayat 281 dalam surah ini diyakini sebagai ayat terakhir yang diwahyukan, pada 10 Zulhijah 10 H, saat Nabi menjalani haji terakhirnya, 80 atau 90 hari sebelum wafatnya.[9]
Surah ini dinamai al-Baqarah yang artinya "sapi" sebab di dalam surah ini terdapat kisah penyembelihan sapi betina yang diperintahkan Allah kepada Bani Israil (ayat 67-74).
Muhammad (2010), hlm. 27 menyebutkan perkataan beberapa ahli tafsir tentang pokok isi surah ini.
Tiga golongan manusia dalam menghadapi al-Qur'an
Keesaan dan kekuasaan Allah
Setelah muqatta'at, Al-Baqarah dimulai dengan pernyataan bahwa al-Qur'an tidak memiliki keraguan serta menjadi petunjuk bagi orang yang takwa.[10] Takwa (taqwa) berasal dari akar kata Semitik W-Q-Y yang berarti "waspada dalam perlindungan".[4] Orang yang bertakwa adalah orang yang selalu menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Merekalah yang beriman kepada sesuatu yang gaib,[4] mendirikan salat, menunaikan zakat, meyakini kenabian Muhammad serta nabi-nabi terdahulu serta kitab-kitab yang diwahyukan Allah.[10]
Kemudian dibahas mengenai siapa itu orang-orang kafir dan munafik. Yang pertama, kafir dimaknai sebagai orang yang sama sekali menolak meyakini kebenaran, karena hati, penglihatan, dan pendengaran merela telah tertutup, dan akan diazab dengan keras.[11] Selanjutnya dibahas orang-orang munafik, yakni mereka berkata telah beriman kepada Allah dan Hari Akhir, tetapi sebenarnya mereka tidak meyakininya. Mereka mencoba untuk mendustakan Allah dan orang-orang beriman tetapi mereka mendustakan dirinya sendiri. Hati mereka sakit, lalu mereka diazab dengan keras oleh Allah. Orang-orang ini juga suka menyebarkan kerusakan di muka Bumi (fasad); mereka mengaku melakukan perbaikan, dan menyebut orang-orang beriman sebagai orang bodoh. Mereka mengaku beriman, tetapi begitu kembali kepada Setan, mereka mengakui kekafiran mereka, tetapi mereka tidak sadar bahwa Allah telah menipu mereka dan memperbanyak kesesatan mereka. Mereka akan terlibat dalam perdagangan yang tidak menguntungkan, membeli kesesatan dengan petunjuk. Ibarat orang yang menyalakan api dan merasa aman di sekelilingnya, tetapi Allah memadamkan api itu dan orang itu diselimuti kegelapan. Mereka tuli, bisu, dan buta. Atau seperti orang yang ditimpa badai petir dalam kegelapan, sehingga mereka menutup telinga karena takut akan kematian. Petir sangat terang sehingga hampir menghilangkan pandangan mereka, tetapi mereka berjalan ke arahnya setiap kali menyambar, dan tetap diam saat gelap.[12]
Umat manusia diperintahkan Tuhan yang telah menciptakan mereka agar mereka senantiasa bertakwa, kemudian Tuhan menjelaskan apa yang telah Ia ciptakan: Bumi sebagai hamparan dan langit sebagai atap, dan hujan turun dari langit untuk menumbuhkan buah-buahan sebagai rezeki. Umat manusia diperintahkan untuk tidak mengadakan sesembahan selain Allah. Mereka yang meragukan Al-Qur'an ditantang untuk membuat surah yang mirip dengannya. Mereka tak akan dapat memenuhi tantangan ini dan diminta untuk takut akan Neraka, yang bahan bakarnya manusia dan batu dan secara khusus disiapkan untuk orang-orang kafir.[13]
Kisah-kisah dalam surah ini diceritakan untuk memahami konsepsi teologis tentang kebenaran Islam.[14]
Ayat 8–20 dari Surah Al Baqarah mengacu pada orang munafik (Munafiqun). Saat Nabi Muhammad berada di fase Makkah, ada dua kelompok, mereka yang beriman dan musyrikin (kafir). Namun, setelah Hijrah ke Madinah, Muhammad harus berurusan dengan lawan dari mereka yang mengaku menerima Islam tetapi secara tersembunyi akan melawan Muslim. Pemimpin mereka adalah Abdullah bin Ubay yang akan dinobatkan menjadi pemimpin di wilayah tersebut sebelum kedatangan Muhammad di Madinah. Orang-orang munafik mendapat manfaat dari umat Islam tanpa kehilangan pergaulan mereka dengan orang-orang kafir. Mereka dianggap tidak setia kepada kedua belah pihak dan condong ke arah orang-orang yang paling menguntungkan mereka dalam arti duniawiah.
Terdapat dua konsep sifat munafik yakni:
Menurut ulama Kamaluddin Ahmed, sifat nifak adalah sesuatu yang ada di dalam hati, sehingga tidak ada yang tahu keberadaannya kecuali Allah. Oleh karena itu, tidak seorang pun dapat disebut munafik hanya sebatas dengan penilaian diri.
87-105 muncul dalam lapisan bawah dari Manuskrip Sana'a.[16]
Sungguh, Kami benar-benar telah menganugerahkan Kitab (Taurat) kepada Musa dan Kami menyusulkan setelahnya rasul-rasul. Kami juga telah menganugerahkan kepada Isa, putra Maryam, bukti-bukti kebenaran, serta Kami perkuat dia dengan Ruhulkudus (Jibril). Mengapa setiap kali rasul datang kepadamu (membawa) sesuatu (pelajaran) yang tidak kamu inginkan, kamu menyombongkan diri? Lalu, sebagian(-nya) kamu dustakan dan sebagian (yang lain) kamu bunuh?
Surah ini memuat banyak sekali topik, seperti perintah salat, puasa, berjuang di jalan Allah, haji, kisah mengenai pemindahan kiblat dari Yerusalem ke Makkah, nikah dan talak, perdagangan, utang piutang, serta riba.[6]
Khamr dan perjudian dibahas dalam surah ini,[17] dan itu hanya satu dari empat surah yang menyebut Nasrani alih-alih Ahli Kitab.[18]
Ayat 190–194 membahas mengenai hukum perang Islam.
Ayat 255 dikenal sebagai Ayat Kursi (آية الكرسي); merupakan ayat terkenal dalam al-Qur'an dan banyak dipajang sebagai kaligrafi. Di dalamnya memuat sifat-sifat Allah.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad bersabda:
Jangan menjadikan rumahmu seperti kuburan, karena setan akan lari dari rumah yang di dalamnya dibacakan Surah al-Baqarah.
— Hadis riwayat Muslim, no. 1860
Surah Al-Baqarah 256 dikenal sebagai ayat yang sangat terkenal dalam al-Qur'an, maknanya adalah "Tidak ada paksaan dalam agama." Dua ayat lainnya, 285 dan 286, terkadang dimasukkan sebagai "kelanjutan" Ayat Kursi.[19]
Ayat 2:282[20] membahas fikih: (1) utang piutang (2) kesaksian wanita.[21]
Amin Ahsan Islahi dalam Tafsir Surah al-Baqarah mengatakan ketika ada transaksi pinjaman untuk jangka waktu tertentu, itu harus ditulis dalam bentuk yang formal. Baik kreditur maupun debitur harus menyepakati apa yang ditulis dengan menghadirkan saksi dua laki-laki, atau satu laki-laki dan dua perempuan. Keamanan pinjaman harus dijamin. Panjang kontrak harus disebutkan dengan lengkap.[22][23]:2:282
al-Jalalain berkata, "yang dipanggil untuk menjadi saksi dalam berutang adalah dua orang laki-laki dewasa; atau jika kedua saksi itu bukan laki-laki maka satu laki-laki dan dua perempuan, serta harus Islam."[23]:2:282[24]
Musa disebut dalam ayat-ayat berikut:
memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
%PDF-1.5 %äüöß 2 0 obj <> stream xœåZK�㸾÷¯Ð9€V‰") a í¶ä¶É 99%Ù‚l€ìeÿ~ªŠ¯¢DÊ=É13˜±,‘õüêÁ²ÌÓ¯oÿžÌdfƒaZ·uF¿NÁÂL¿üýíO¿™þWÐß_~z»}{Øæ0yëf¶éÛߦß>aœ¾ýøçw¯ðn–ë…þ·f½ºwã®ùöû·Ç··ö”VOô(½ýö�îgö{°r¿^ðÝ ±§+_ärJ°á@— ÈJCýƒ(¾™f»™Q°ÆÅŒÉÜÙn«Ðú¼ AÒ&�Læ!Z ù'Y{»†w0‰i\ _=]!o4°°Ò§Û¸Ñ"Ï—IîÎÞÂXÇ*˜e6`»®…`—$-uÅ’žl"ã7þdïñÖJ8»É˜1‹²hXÙL%2(™ÓõâI."›Mr3wúûq½¬|ÿ3®}ˆ±âZ2öúhž,(ž€d¯H -[X}fVV AXùᢠyµg'bQ¼‹ã�ä½vèãf;¹u›íAqØŠôÂí#ƉIÆꌎþЧµÞ¬ôé]p˜ùPNò¹Á�,M*\Èé›OŠ&ëÀ'ý#ZÂx–Œ5M¢ÑÎOxò+–yhAÔ†©å¯?¿‘¤Ó¯Cùÿð»73]€²ÆÏXOkåË?§?vB{£'(À�€þL |°S#¤(|ª}|LŽóžp+aI–ð¤6ᬠ¿edÇ›hÈbw¹‚="?䛸ÐFúïÿëfk(þŸà=å Õc'ðøG�?ØïÿÃ1›ÌIàµÂ {÷X‡Ô0o8~ÌéþäD¦aöǺ#Å-y#b˜dKEå!’"ƒØÛ÷qYäêØ�/vBE¯ ÅÑrb¦6)AR=–lB¶%?QÛx"˶jâGÚÖü0î¡Ì²A!†ñ F¸>T4 – ]‚}ÝâÓ&MSàz E`"#†¦$£æ–¢I"`ãÓª|æêËXºáÚBí6rU‚�^Ê�dQŒM‚%b£ü$˜‹*Ù�±áã}_ý>ì’ŽrIÆYCÙ—rzuù&†¸³‚òËg$›¨oÙøòM¡™•H‰GÓtÄÓ~´€…‹àªSˆàŠJQ{0qdŒZDô$ƒéb«ØE!Š‚}‹ ß×JdzQ‹SWÛ`æå”Ç)%^ ×ã›Ü’hžä&®OKÙÕ3ª”ÊP–<¹™«Ê±Í úݼæ;ô‘ e%J¾— �d,ÈJŠù�²ªO.×Tˆ>ôsüб^WWCÄ°åŒY6½öcUr Æj—”'ðܽԹS÷f•Š]S�VóM¬Ó¬=b]û‘{¸”dï£ò€•þk I…oSÝŽDMŸéaZ¡„¨F”Z‘«;“´‹ÍHIt FQäT×£XPšÏd÷@EnïŒoM%…Uó̈9HÏbžâ` óvìQryˆYœb2܇H®0 ¯2zÙUvu‰@j…œª(9{ôƒßq»è+ÊÚ°9³×)‘ðz+Õy¿ËÅf8;\ËÊöÈHÓû.٠™0ÑÊVƒ³Šâ;é›üólmž¤xáq½c¯ÏKå³�¹rýYŠò…¹§ò.Ÿ 4�F+]Ú¥°É½–ÚXÄi™¶˜!)GÔ¦ƒC=/Ùø#6Wo/ ©èg¿¥ª}mO–*KjèÔ�Ú®D½u ÂFdw0UAþN`AәߗÍÏë1ã3gŸÀh`Ówn%YW…ÎGÂÔMóJ99b<ȉE ãáM3P! ܬ\ðkÌÅ ¹xL-}C»!£!{g'9+÷Ô1§ZŽ‹/½ôb€FƒZhFèÉÕ‘äòXíäÜ‹ÞÕqCõbHÂë"ÀmáxJΆŽ£QGRˆSâxÒDOÜÒ”ôN¾¤3ªAã 0ÄãìTÊé;Ocö†UÝ6˜Çt*‘+ñÃ}j(Dø�wD~(; d.æ£<>Õ Ôøé§Ö“Ñ3Ø1=vã¶ÅêGŸ'‡Ý楥R¸,uêrSç©šî㔥ÔøÔ×g�”w¹[×rmn¥bù^¬|ôI‹ó9v;Ç0V»r€OÓÀ´WÂu˜àþ˜“x«CÛ5·SãFÔŸz]–S�ó).|èL>ðcxHׇ“WÇ;Üuí©ÓVXÛ�Rv‡�è†áï.‚°®üLTn“èôMoÔ?X¨xÚË.n¾Kph+•<
وَقَالُوا اتَّخَذَ اللَّهُ وَلَدًا ۗ سُبْحَانَهُ ۖ بَلْ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۖ كُلٌّ لَهُ قَانِتُونَ
Ayat ke-116 ini masih sangat erat kaitannya dengan ayat-ayat sebelumnya, yaitu masih membicarakan kaum yahudi dan juga kaum nasrani.
Kalau pada ayat sebelumnya yaitu ayat ke-115 diangkat tentang ulah kaum yahudi yang mempertanyakan kenapa kaum muslimin sudah tidak lagi mau berkiblat ke Baitul Maqdis, maka di ayat ini Allah SWT menceritakan bagaimana mereka telah menyekutukan Allah SWT dengan menuduh bahwa Allah SWT memiliki anak yaitu Uzair. Dan begitu juga nasrani yang menuduh Allah SWT memiliki anak yaitu Nabi Isa alaihissalam.
Ayat ini sebagaimana juga ayat-ayat sebelumnya saling terkait dan tidak bisa dipisahkan, karena selalu diawali dengan wawul-‘athaf, yaitu huruf yang berfungsi menunjukkan hubungan serta biasa diterjemahkan dengan makna : “dan”.
Padahal kalau dalam struktur kalimat bahasa Indonesia yang baku, awal kalimat itu tidak boleh diawali dengan kata : “dan”. Dalam hal ini kita tidak menemukan huruf wawul-‘athaf diterjemahkan menjadi “dan” dalam terjemahan Kemenag RI dan Prof. Quraish Shihab, namun dalam terjemahan Buya HAMKA kita masih menemukannya.
Lafazh qaaluu (قَالُوا) adalah fi’il madhi dari (قَالَ - يَقُول) yang maknanya berkata. Dalam hal ini yang dimaksud adalah kaum yahudi dan juga kaum nasrani. Mereka berkata dalam arti secara tegas menyatakan apa yang telah menjadi keyakinan dalam konsep keimanan mereka tentang Allah yang memiliki anak.
Lafazh iitakhadza (اِتَّخَذَ) maknanya : “mengambil” atau bisa juga dimaknai : “menjadikan”, sedangkan waladan (وَلَدًا) artinya anak. dalam terjemahan mengangkat anak atau memiliki anak.
Penggunaan kata anak dalam kaitan ini kadang menggunakan istilah walad (وَلَد) sebagaimana yang digunakan dalam ayat ini, namun beberapa kali juga menggunakan kata ibn (اِبْن) atau dalam bentuk jama’ menjadi abna’ (أَبْنَاءُ), seperti ayat berikut :
وَقَالَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَىٰ نَحْنُ أَبْنَاءُ اللَّهِ وَأَحِبَّاؤُهُ
Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan: "Kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya". (QS. Al-Maidah : 18)
Di dalam surat At-Taubah apa yang disebutkan di ayat ini tentang orang yahudi dan nasrani yang punya aqidah menyimpang lebih diperjelas lagi.
وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ۖ ذَٰلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ ۖ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ ۚ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ ۚ أَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ
Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang-orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putera Allah". Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling? (QS. At-Taubah : 30)
Tentu saja keyakinan bahwa Allah SWT itu punya anak merupakan bentuk penghinaan serta pelecehan, bahkan masuk ke level menyekutukan Allah SWT dengan manusia atau makhluk-makhluknya. Namun entah dari mana mereka mendapatkan pemahaman menyimpang, yang jelas Allah SWT sebutkan bahwa mereka hanya meniru-niru perkataan orang-orang kafir terdahulu. Lalu siapakah yang dimaksud?
Kalau kita telaah sejarah agama dan kepercayaan, kita temukan ada beberapa peradaban di masa lalu yang memang punya pemahaman bahwa dewa-dewa mereka itu punya ayah :
Dalam beberapa mitologi pradaban kuno memang kita temukan jejak konsep tentang seorang dewa yang dianggap sebagai ayah dari semua dewa. Beberapa contoh yang terkenal adalah:
Sedangkan dalam konsep agama samawi, jelas sekali bahwa Allah SWT itu tidak beranak atau diperanak. Lalu mengapa tiba-tiba kaum yahudi dan nasrani jadi terbawa-bawa konsep ketuhanan yang aneh-aneh. Oleh karena itulah dalam Al-Quran khususnya surat Al-Ikhlas secara tegas dan tajam keyakinan sesat macam itu ditolak. Allah SWT berfirman :
لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ
Dia (Allah) tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia. (QS. Al-Ikhlas : 3-4)
Lafazh subhanahu (سُبْحانَهُ) artinya Maha Suci Dia, yaitu Allah SWT. Dan ketika kita menyebut Allah itu Maha Suci, itu adalah ungkapan dalam rangka berlepas diri (التَّبْرِئَة) dan pembersihan (التَّنْزيْه). Maksud berlepas diri itu adalah tidak mau terlibat dari pemahaman keliru serta aqidah menyimpang tentang Allah. Sedangkan pembersihan itu maksudnya mencuci atau membersihkan diri semua kesalahan itu.
Pertanyaannya : kenapa Tuhan harus disucikan oleh manusia? Bukankah tanpa harus disucikan oleh manusia, Tuhan memang sudah suci?
Jawabannya memang benar bahwa Tuhan itu sudah suci, namun itu dalam agama Islam. Sedangkan dalam banyak agama di dunia ini, konsep tentang Tuhan yang mereka kembangkan ternyata tidak terlalu suci, lebih lebih mirip dengan sifat-sifat manusia. Sebut saja misalnya Tuhannya butuh pasangan hidup, sehingga Tuhan itu kawin dengan manusia dan punya banyak anak. Anak-anaknya lalu jadi setengah manusia dan setengah Tuhan.
Agama yang dibawa oleh para nabi dan rasul punya misi utama adalah mensucikan umat manusia dari cara bertuhan yang lemah penuh kekurangan sebagaimana manusia biasa. Bedanya hanya Tuhan mereka itu punya semacam ‘kesaktian’. Selebihnya sosok Tuhan mereka itu hanya sebatas kehidupan manusia.
Oleh karena itulah maka tag-line dari para nabi itu selalu tidak jauh-jauh dari mensucikan Allah SWT dari segala sifat rendah yang disematkan oleh manusia-manusia yang bodoh dan tidak punya peradaban.
Lafazh bal (بَلْ) bisa bermakna banyak, namun dalam ayat ini lebih tepat bila diterjemahkan menjadi : “bahkan”. Sedangkan lahu (لَهُ) berarti : milik-Nya, maksudnya milik Allah SWT. Lafazh maa fi (مَا فيِ) artinya : “apa-apa yang ada di”.
Lafazh as-samawati (السَّمَاوَاتِ) artinya langit namun dalam bentuk jama’, bentuk tunggalnya as-sama’ (السماء) yang berasal dari kata as-sumuw (السمو) yaitu ‘tinggi’. Sehingga apapun yang dirasa tinggi, pantas untuk disebut dengan langit, tanpa dibedakan derajat ketinggiannya, apakah tinggi sekali hingga jaraknya tidak terhingga, ataukan ketinggian yang masih belum terlalu jauh. Semuanya bisa masuk dalam kategori tinggi.
Sebenarnya langit yang disebut dalam Al-Quran ada banyak macamnya, mulai dari langit yang paling dekat yaitu awan hujan, hingga tata surya tempat planet-planet beredar mengelilingi matahari.
Bahkan hingga letak yang teramat jauh seperti sidratil muntaha tempat Nabi SAW menjalankan mi’raj, hingga langit yang dihias dengan bintang-bintang yaitu ruang angkasa yang jarak bentangnnya bisa sampai bertahun-tahun cahaya.
Sekedar informasi saja, bahwa bintang yang paling dekat dengan bumi kita berjarak 4 tahun cahaya. Semua itu termasuk langit dan apa pun yang terdapat di langit itu semua milik Allah SWT.
Lafazh al-ardhi (الأرض) bisa punya beberapa makna yang saling terkait. Bisa bermakna bumi dalam arti planet bumi yang merupakan bola raksasa yang berputar pada porosnya (rotasi) sekaligus berputar mengelilingi matahari (revolusi), atau pun bisa juga bermakna tanah yang kita injak dan kita tanami dengan tumbuhan.
Al-ardh juga bisa dimaknai negeri atau pun juga dimaknai sebagai tempat tinggal, kampung halaman, desa dan juga negara. Di dalam sirah nabawiyah sering kita baca istilah ardhul-yaman maksudnya negeri Yaman, ardhul habasyah maksudnya negeri Habasyah, ardul-arab maksudnya negeri Arab, ardhu-ruum maksudnya negeri Romawi, ardhul-furs maksudnya negeri Persia. Semua itu artinya negeri.
Maka untuk menerjemahkan kata ardhu (أرض) kita harus tahu dulu konteksnya biar tidak keliru dalam memahaminya secara benar.
Ada yang mengatakan bahwa apa yang ada di langit itu maksudnya segala hal yang ghaib atau alam ghaib, sebaliknya apa yang ada di bumi itu maksudnya segala hal yang bisa diketahui atau alam nyata.
Kata kullun (كُلٌّ) artinya semua dan lahu (لَهُ) artinya kepada-Nya atau kepada Allah. Sebenarnya lafazh aslinya kulluhum (كُلُّهُمْ) yang berarti semua mereka. Namun dhamir hum (هُمْ) tidak mengapa dibuang atau mahdzuf, sehingga meski dibaca hanya kullun saja namun maknanya tetap sama yaitu : “semua mereka”.
Lagi pula dengan membuang dhamir hum, maka yang termasuk ke dalamnya menjadi lebih luas, bukan hanya makhluk yang hidup tetapi juga makhluk yang mati. Pendeknya semua yang ada di langit atau pun juga ada di bumi, baik makhluk hidup ataupun juga benda-benda mati. Semuanya ber-qanit kepada-Nya.
Lafazh qaanitun (قَانِتُونَ) adalah bentuk jama’ dari bentuk tunggalnya qaanit (قَانِت). Secara makna bahasa punya beberapa arti, antara lain berdiri, diam dan juga bisa bermakna taat, patuh dan tunduk.
Lafazh qaanit yang bermakna berdiri (القِيَام) ada disebutkan dalam salah hadits Nabi SAW :
أَفْضَلُ الصَّلَاةِ طُولُ الْقُنُوتِ
Shalat yang paling baik adalah yang lama berdirinya.
Dan kenapa disebut dengan doa qunut, karena doa itu dilantunkan sambil berdiri, untuk membedakan doa yang dilakukan ketika sujud, rukuk atau duduk tahiyat. Selain yang maknanya berdiri, qaanit juga bermakna diam, sebagaimana sabda Nabi SAW :
كُنَّا نَتَكَلَّمُ فِي الصَّلَاةِ، يُكَلِّمُ الرَّجُلُ صَاحِبَهُ إِلَى جَنْبِهِ حَتَّى نَزَلَتْ: "وَقُومُوا لِلَّهِ قانِتِينَ" فَأُمِرْنَا بِالسُّكُوتِ وَنُهِينَا عَنِ الْكَلَامِ
Dahulu kami berbicara di dalam shalat, seseorang mengobrol dengan samping kanan kirinya. Hingga turunlah ayat (وَقُومُوا لِلَّهِ قانِتِينَ) maka kami diperintahkan untuk diam dan dilarang dari bercakap-cakap.
Namun dalam konteks ayat ini, lafazh qaanit nampaknya memang lebih tepat bila dimaknai sebagai taat, patuh dan tunduk. Maksudnya segala makhluk Allah itu taat, patuh dan tunduk kepada Allah. Sebagaimana yang disebutkan oleh para mufassir klasik yang masing-masingnya menyebutkan makna qanitun sebagai berikut :
%PDF-1.5 %µµµµ 1 0 obj <>>> endobj 2 0 obj <> endobj 3 0 obj <>/Font<>/XObject<>/ProcSet[/PDF/Text/ImageB/ImageC/ImageI] >>/Annots[ 19 0 R] /MediaBox[ 0 0 595.32 841.92] /Contents 4 0 R/Group<>/Tabs/S/StructParents 0>> endobj 4 0 obj <> stream xœ•]sÛ6ò=3ù|º#;M $Av2žsâ$MÛtÒĹ{Hî�–h‰•Dºü¨Ï÷ëowP„$H¾ëD&�Åb±ß»à]^·}u_Ì{ïÕ«Ëë¾/æ«rá}»¼mþ}yûôP^~*–U]ôUS_]y¯oÞx—ï¿$Þ²{ù‚yË—/x”†iîÉœ…iì‰H†óXŠÔkË—/îxùâõíË—ï`”‡yêÝÞãÊþcÞ¸8îÝn_¾ˆBÆs~ãSæµËc£Ÿß¿|ñÍ¿]•Þ×nÌ2Ø‹EUã£÷¡îñoÙ*ºñ¹Øx_ú!˜IQÖ½‡Cošú¾lK|¬çeðoïöç—/ÞÞ*z … ¡œøÍ÷& ¤ãÌÃÿ„Q¼Ç,8zþxâüßü±ßlDr.ÂØBó̓Yì{–]ÐÓoM�ßý@øï‚÷Ë;na~(ð·b‚Ôçð(àß÷À±—HxÈ¥E2ò òÞïóÆœ9wI=Í4«¾øñ2˜ Ÿ~Z ¤™3–ø üI}’mê/;„Û ñœZ TD 5P}_àlOc4½ ”ùÏV‹Ëª^ ü?!A=¬.¿âìxå„ä˼¹çðÆüˆsâôœOŽ°p(9ÀÅžLÒ�ý%EŒ'ÞÊDì%yƱ—ÅÜhп~ðjÍg�r!>&^œÄ(‹ÕÎhÚï„”�FÈDÑ Ó$„M$ÏØ{s äòöX–,ònyo?¾ñ¼ËOè>¾ùpãE—¿õÒóËzöá&ж¯d*ÐÀ÷„šËP¹RÈP(¦ ]‘ˆáÔóoþµKuØW”ÚËhÅ̹ ckÁ7ÿ#J½¨ºªõnŠ Ê�„¿õ®Q²N«à¥¤�i×Ëwñ‘³ò8 ¥½ò1¾ð'—W³ÿÆ{ûî 3q5Kp(‚ÿÁ3GèÞSŽsYJ«³× $…ç(Æ%Wûã¾@ýböYŠ p¤ó>*kX×ùdÌï`]è9…ç`ãü4gF^H (ˆ%Mmy,ÈW°™÷#>yyät*Y(rÉÔL”“�TN††c ´3�Eq˜sãø¹ÿˆ1ÍB&¼Ãž¡øó°¨èœ¿þ¢¸¯\çåÀYf¯>I�8K�:a*³0{Ö c7�ºì#Lš¦;ôïPŸÈÐÖø3lÐÓöE }òÑÈýkGNxÀw²K£cš\�BÖ¸ _?³\¹ûmµÆ™jtòfŇNÙóhà.öfi˜'6µ'™‘œc/ÃŒ&'ã…ñ«ËCq†ÛZ°x‚ê¯#[bPÕ“}hf9p�ÛÎ3×'lŽVkÁv#çµGtEMÌíµ¿9a³06,FÔ%ÅL|¢|™«Dd8ÓÕ.ª8?´GÕçñ0‹TmTŸ�6ö¤W+ïS�yÎÆ$[òƒwS�Z^¸v'åþ°‚¢°ëò–\jºwú-Ñ[yDí�GtõËCQ�ꚺm79âýDÊü¥ óþ}E Z#ü«rìIPgþ±T,žV ç¤GM`Ý�!És†Ëü@¡Ošfö\Ï19ÂüdèØËÏeŒYSªr…üú£g�‚jÉ€ç½S‰@Ò^}:ª�ȹÒ}Útf™äiÈŹ,â^º{R]•h"�0‘ÙT}ãOzŸ ¤Ð~„ûMIÿ±"¬4¤pyŒó%k{g~—ç!T=¬¶�ZyJÈÓsÌñ÷Èÿ“¢L‹o1÷ÿÄŠ¦šR�ü×8ò¤Q8ÓU�†YêƒÑ)«»–ölŸ,�áUSmKUs /Æ9ä¦EiÀ5ùªæQG½ØEGÆÏIÆCftü»¿QD&"Yî·B»2ЈÛùê{@çg̺ٞkÂ0/‰di®”è4ÌŽïÌð½"h–¢Î,ÀQ<éYµciÍä#øÜV[य़R¿0bë•Ÿ÷mî5}‡'‚çû‚ÇÁ(÷ÿæªî±pæ6cÏ ¿Ä®´]u�P´Á–qî?®Àm΄o…¡®œ7 •Ú(�}za~�§ûl�dkøX+YÁø}ÛàÈß"ÿ|nŒÎ¶5–F ÛœÍ`-êU²š±R{¢¶» Ž+„;N.s´»&Èíµ 1"A|ú ÉHn©2÷GàR™‹Ïò=andDK.ßÓˆLë\ó€{ÓÑHû£Èÿ¬Ž7ÚÈ Ï�K"¨sÌ|gHÊÌWjt”õþ)[ép¨¡î„FÖ!W•7x¤½ÙåË‚ç?©¡Ô]™Eë<‹.OCµY°«=)0\›—>èfO~O�C B¹6’×Oࢢ³R9î9‘Òj§Ñ€ ÜÝÖx&b£³Ö¼Ïky %=L(y�“`n$!.§hÿ"��&†HîȪ%¡0„¡2O¡îÑo$[ò�ݦڢty¶S>Ê„µ ß ï²IÓí0IجÚÅ×Ç SoO�:Ï#”:‰i+pï³gÄÅ;04s©HÞV4ŒîÛÄ!u‰Ø+ýx“éÕè¢G«F»¸ íe! ëzµë]IÛ¿/Zcà°@šÑ3Ù,F3ðïFãu[„ÈX(sû¬Îì;K0û¶`G‹˜„ Çt°Q'¦1±šo?!�F-9-HÐ3iíN8ˆ wå‚\þN�E®3•Ú@jO-§ù pQþ7ÙÞmtËTcœ�7vƒàhG*¯k(hDŸ¥ö}JéÐ+ö“ƒñšˆNªãM¤—¡�#yÛ»’ÒååJÂãî»ðr>Ä�ég&'|ãU{OA¯%V»vùœ”:ß(�OõŠñ½#½Ê˜ƒ_¸ð€_LæC%!ƒÊ¸Ú„æþS“4WYá8 Ë)a{Òo;?ƒo*`t}¥\DY'ÙU8p¶Õ;V®ª#Ž!AÉlf9=Q±³`�â�§ÕÏ:ók»~Â�4�èoèP±¾Â6»éø*_ýf•äa"'ŠQé8IZ€–ÁY¦ÄÝVô–«NÖ€©¦¶ŸSŸcÓ±íÁ°¬!Z]OH-†5 hDZWÝJ¼Âj° }ÄÚ•s¥~ånáî±Õ:¸Ö˜i¯bUtªxuÕˆ ?ÑTj\ÑAyd‘zÚ ð»¢Iõ†C¡[,`Hu£ÍXVz`X‚ÑPÿA×±tPs˜87´?â�wcQ&‰MÏMAYN±U½Åß©¼JNÛ�À»Í=<ÎÊ=Í1 Y°ç°”,VºáøT °bæç@}4¶+á´O¥’¿žÈî4³ÃoCÔFw.XÈ<÷a5ï´ìi«'ÅÌ™`¡[]üV@;GÝÂR"lšrFtût= Sç€ò g[‘±[·SÕ~×Ê"ÒHð ¸Û5¼”Ø—•êðá…‘éÚ�¨iCGñi«†þ@åVU$gùÉd(Œà>ªkE*…*ua#ád›b3ÐÊl‹¼žøuÞf=5g6êx‹4B® JÇRd1Ýb©�\kx”»ŠµÊ†ç±›¦vèÆ=ŠŽXPY‚Ä%õ#9'àÃ9D/³ˆ ºÊ&V²$kÙ«P5•‰ÓVÄ$]aXØ�U~¡Èl؉0È´Z*khM@e4ª˜S9êV·F^Aí@žo*lÔæH“’ŸÉm âç�:ïÏÉ